Sabtu, 01 Maret 2008

Serba serbi Jakarta

Trem Uap Betawi
(foto:dok/ist)
Hingga kini tidak ada satu pun yang tahu penemu trem uap yang semasa Batavia dulu menjadi salah satu alat transportasi, selain dokar, sado atau delman. Orang kemudian menyebut trem uap ini sebagai trem uap Betawi. Entah apa alasannya penyebutan embel-embel sebagai trem uap Betawi, yang pasti angkutan umum yang satu ini bermanfaat bagi penghuni kota Batavia.

Berbeda dengan trem uap yang berada di Eropa atau di benua Amerika, ternyata trem uap Betawi ini bentuknya seperti trem pada umumnya. Layaknya sebuah trem uap maka untuk menjalankannya lok harus diisi air lalu dipanaskan dengan api batu bara atau kayu api, sehingga air itu menjadi uap. Uap itu kemudian dipakai sebagai tenaga untuk menggerakkan trem. Setelah itu, trem uap siap mengantarkan siapa saja yang siap diantar.



Namun hal itu tidak dengan trem uap Betawi. Lok trem uap Betawi terdiri atas sebuah ketel yang disebut remise. Trem ini biasanya mangkal di daerah Kramat (kini masuk wilayah Jakarta Pusat). Nah, di pangkalan inilah, remise trem uap Betawi diisi dengan uap yang sudah jadi dan memiliki tekanan tertentu.

Dengan bekal uap kalengan ini dalam perutnya, trem uap Betawi cukup kuat untuk membawa penumpang dari Kramat menuju Kota. Lalu balik lagi dari Kota ke Kramat, terus ke Meester Cornelis (kini Mester/Jatinegara) dan kembali lagi ke pangkalannya untuk ”mengisi perut” agar siap kembali mengangkut penumpang.

Repotnya, jika tidak ada orang yang bertugas di pangkalan di Kramat maka trem uap Betawi itu tidak mempunyai stok tenaga untuk ”bekerja” membawa penumpang pulang-balik Kota dan Kramat. Yang terjadi kemudian munculnya penumpukan calon penumpang dengan pakaian yang beraneka-macam. Yang tuan tanah berpakaian klasik dengan warna dasar putih.

Sedangkan nyonya tuan tanah dengan pakaian longdres panjang dan tak lupa membawa payung. Salah satu – bisa dibilang musibah – yang ditakutkan dengan trem uap Betawi ini jika musim penghujan turun. Di musim hujan apabila air terus-menerus jatuh dari langit maka suhu udara yang dingin menyelimuti kota Batavia akan membuat uap kalengan yang ada di trem uap Betawi akan kedodoran. Suhu yang panas itu tiba-tiba drop dan menjadi dingin.

Kalau sudah begini maka trem uap Betawi akan berjalan terseok-seok. Bunyi klasonnya yang juga mendapat tenaga dari uap kalengan itu menjadi fals bunyinya. Jika ini yang terjadi para penumpang pasti dongkol bukan main. Bukan apa-apa yang pasti trem uap Betawi akan mogok…gok…gok! Semasa Batavia dulu trem uap Betawi ini selain melayari trayek Kota – Kramat juga melintasi daerah Pasar Ikan atau Kleine Boom) lalu ke Harmonie.

Trayek lainnya dari Harmonie lewat Rijswijk Zuid lantas melalui kantor pos pusat dan Istana Weltevreden (Lapangan Banteng) sampai tiba lagi di pangkalan di Kramat. Jalur ketiga, dari Kramat menuju Meester Cornelis (Mester/Jatinegara).

Ketika trem uap Betawi masih beroperasi, trem dengan memanfaatkan tenaga kuda juga masih bisa dilihat hilir-mudik di jalan-jalan utama kota Batavia. Sayangnya hingga kini tidak ada satupun trem uap Betawi ini yang tersisa. Paling tidak ini bukti bahwa yang berbau kuno terkadang sering dilupakan.

Mr Treub, Pencetus Ide Silang Monas
Dr Melchior Treub. (foto:dok/ist)
Silang Monas telah menjadi salah satu ciri khas Ibu Kota Jakarta. Bahkan, hingga kini pun rasanya orang yang datang di kota ini tidak akan merasa afdol tanpa menginjakan kaki di kawasan Silang Monas, titik jantung Jakarta.

Namun siapa sangka kalau ternyata rencana pembangunan Silang Monas sudah terjadi jauh sebelum Batavia berubah menjadi kota Jakarta seperti sekarang ini. Orang hanya tahu bahwa ide pembuatan Silang Monas datang dari Presien pertama RI, Ir Soekarno. Sampai sekarang pun yang berkembang di masyarakat jelas bahwa rencana pengembangan Silang Monas adalah ide Bung Karno.

Namun menurut catatan sejarah rencana pembuatan Silang Monas (kini masuk wilayah Jakarta Pusat) dimulai pada tahun 1892. Ketika itu rencana Silang Monas diusulkan bukan oleh seorang arsitektur apalagi ahli perencanaan kota atau planologi, tapi justru datang dari seorang pakar di bidang ilmu tumbuh-tumbuhan.

Namanya, Dr Melchior Treub. Ia menjadi direktur Kebun Raya Bogor antara tahun 1851 hingga 1910. Nama Treub diabadikan menjadi nama laboratorium penelitian tumbuhan obat di Kebun Raya Bogor hingga kini. Masuk akal memang mengapa rencana Dr Melchior Treub tidak diketahui banyak orang hingga sekarang ini. Karena ide membuat jalan silang yang memotong Koningsplein (Lapangan Monas sekarang ini) secara diagonal hanya terdapat dalam salah satu tulisan Dr Melchior Treub yang termuat di dalam majalah ilmiah Teysmannia yang diterbitkan pada tahun 1892.

Dalam tulisan ilmiahnya tersebut, Dr Melchior Treub menguraikan secara gamblang keunikan lapangan yang luasnya lebih 90 hektare. Ia melihat kondisi lapangan tersebut kurang serasi menjadi perhiasan kota karena pohon-pohon dan gedung-gedung yang di masa itu masih sedikit dibanding dengan luasnya. Kondisi itu jelas berbeda denganChamps de Mars di Kota Paris yang biasa digunakan untuk parade militer. Apalagi jika dibandingkan dengan Saint James Park dan Green Park di London, lapangan Koningsplein kalah jauh.

Karena itu Dr Melchior Treub mengusulkan agar lapangan Koningsplein dibelah dengan jalan-jalan yang memotong diagonal. Usul tersebut tidak jauh dengan kondisi Silang Monas di Lapangan Monas Jakarta Pusat kini.

Bedanya hanya ditambah dengan sebuah jalur lagi yang merupakan lanjutan Jalan Museum menuju ke tengah lapangan. Jalan silang itu bertemu di titik pusat yang berupa sebuah bundaran atau rond point tepat di tempat sekarang Monumen Nasional berdiri.

Tak cuma itu sebab pakar ilmu tumbuh-tumbuhan asal Belanda yang satu ini juga agar di tengah-tengah rond point dibuatkan lokasi air mancur atau sebuah monumen kecil yang dapat dilihat dari empat penjuru. Tapi waktu itu Dr Melchoir Treub menyarankan agar monumen kecil tersebut dibangun tidak terlalu besar. Ya, hanya sebuah monumen kecil yang nantinya dihiasi petak-petak bunga yang warna-warni.

Sayangnya ide itu hanya sebatas gagasan yang baru terlaksana taseabad kemudian oleh Presiden Ir Soekarno pada hun 1961-1962. Dan, pedagang kaki lima (PKL), penjual kaos dan penjaja teh botol berpesta ria mencari rezeki di Silang Monas.i
 
Dari ”Grojok” Menjadi Glodok
Balai Kota (Stadhuis),pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. (foto:dok/ist)
Tidak banyak orang tahu bahwa di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) –pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia – terdapat sebuah gedung kecil persegi delapan yang dibangun sekitar tahun 1743.
Bangunan itu sempat hilang. Baru pada 1972 bangunan itu didirikan kembali persis di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) atau persis di depan Museum Fatahillah kini.
Di masa Batavia dulu, gedung kecil persegi delapan itu banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda. Karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tetapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu seusai mengadakan perjalanan jauh.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan ada pula penarik delman yang mengambil air bersih dari tempat tersebut. Pada waktu pemerintahan Gubernur Jenderal von Imhoff, air tersebut disalurkan dari Kali Ciliwung melalui saluran yang dibuat di bawah tanah dari batu bata.
Saluran ini dimulai di Pancoran, nama yang kini masih dipakai untuk Glodok Pancoran Jakarta Barat. Sebuah kawasan Pecinan yang jika kita singgah di sana suasana komunitas Cina terlihat sangat kental. Di sana-sini tampak huruf-huruf Cina. Belum lagi sajian makanannya yang serba Chinese Food. Tetapi Glodok Pancoran juga dikenal sebuah kawasan perjudian di ibu kota Jakarta selain Asemka dan Kalijodo.
Dari gedung kecil persegi delapan ini saluran air bersih kemudian diteruskan ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal-kapal yang singgah di pelabuhan ini banyak memanfaatkan air dari tempat itu untuk kebutuhan air sebelum kapal berlayar berbulan-bulan ke Negeri Belanda atau ke Maluku, Ambon untuk mengambil rempah-rempah. Bahkan kapal-kapal bukan milik Belanda pun memanfaatkan air dari gedung kecil persegi delapan ini.
Masuk akal bila air di masa itu masih bersih dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari karena memang semasa Batavia dulu Kali Ciliwung sebagai bahan baku air masih sangat bersih. Jauh dibanding dengan kondisi Jakarta sekarang ini.
Menurut catatan sejarah nama Glodok, sebuah kawasan bisnis di ibukota Jakarta, berasal dari air yang berada di gedung kecil persegi delapan tersebut. Bunyi airnya grojok grojok grojok.
Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok. Entah benar atau tidak, yang pasti nama Glodok itu kini melekat kepada salah satu kawasan bisnis tersohor – terutama barang-barang elektronik - di Jakarta.
Sekarang ini gedung kecil persegi delapan tersebut masih berdiri. Tetapi kondisinya memang sudah jauh berbeda dengan situasi aslinya. Kalau dulu dijadikan sebagai sumber air bagi serdadu Kumpeni Belanda, kuda-kuda tentara atau untuk pasokan air bersih bagi kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Namun kini gedung kecil persegi delapan itu membisu. Ia tidak mengeluarkan air lagi. Malah, sebaliknya sering dijadikan tempat untuk membuang sampah. Tragisnya lagi jika malam dijadikan tempat untuk menyimpan gerobak pedagang kaki lima (PKL). Beginilah susahnya jika bangsa ini melupakan benda bernilai sejarah.
Asal Mula Sebutan ”CSW”
  
  Kebayoran tempo dulu. (foto:dok/ist)
Sebutan CSW tidak asing di telinga sebagian besar warga Jakarta. Setiap penumpang bus kota yang menuju terminal bus Blok, Jakarta Selatan pasti mendengar teriakan sang kernet bus kota: ”CSW…CSW…CSW…”
Penumpang yang akan turun di daerah tersebut langsung minta berhenti dan turun di perempatan yang tidak jauh dari kantor Kejaksaan Agung, kantor PLN Kebayoran dan Sekretariat ASEAN di Jakarta.
Tidak asing memang sebutan CSW itu tetapi sangat sedikit penghuni kota ini mengetahui sejarah nama CSW. Ternyata asal-muasal sebutan CSW tidak seperti bintang yang langsung jatuh dari langit, datang begitu saja.
Menurut catatan sejarah kota Batavia, sebutan CSW tidak lepas dari pengembangan sebuah kotabaru di daerah Kebajoran (kini masuk wilayah Jakarta Selatan). CSW itu ternyata singkatan dari Centrale Stichting Wederopbouw.
Di masa itu kota Batavia sudah begitu padat. Sebut saja pada tahun 1940 jumlah penduduk kota ini telah mencapai 700.000 jiwa. Delapan tahun kemudian meningkat menjadi 1.174.252 jiwa. Populasi penduduk sebanyak itu tidak mungkin ditampung di kota Jakarta tanpa pemekaran ke daerah selatan.
Salah satu daerah di wilayah selatan yang diincar pemerintah Kotapraja untuk pengembangan adalah Onderdistrict Kebajoran Ilir yang jarak tempuhnya 4,5 kilometer dari pusat kota.
Luasnya sekitar 730 hektare dan direncanakan dibangun 80.000 unit rumah berikut fasilitas sosial dan jalan raya. Malah ketika itu juga direncanakan dibangun gedung perkantoran, pasar dan pertokoan, kawasan industri termasuk juga sarana ibadah dan sekolah.
Persoalannya: di atas tanah itu berdiri pemukiman penduduk asli Betawi. Statusnya erfpach, hak garap. Sampai tahun 1950 populasi penduduk Kebajoran Ilir berjumlah 4.900 jiwa. Mata pencariannya adalah bertani. Karena itu kawasan ini dikenal amat ‘ijo royo-royo’.
Pemerintah Kotapraja tetap ingin mewujudkan impiannya membangun kotabaru di Onderdistrict Kebajoran Ilir meski mendapat tantangan dari 2.500 warga setempat yang enggan melepas tanah yang meliputi tiga desa di onderdistrict tersebut. Wedana Kebajoran pada awalnya juga menyatakan menolak rencana pemerintah Kotapraja.
Toh akhirnya melalui perdebatan yang sengit proyek pembangunan kotabaru di Onderdistrict Kebajoran Ilir tetap dilangsungkan. Gubernur District Federal Djakarta, RSS Hilman Djajadiningrat membentuk ‘Komisi Pendjualan’ yang meliputi empat orang Indonesia dan empat orang Belanda.
Komisi ini tugasnya bernegosiasi dengan warga. Warga tetap bersikeras tidak mau menjual tanahnya. Hal itu membuat Gubernur Hilman mengancam akan mempergunakan onteigeningsrecht, hukum pencabutan hak atas tanah.
Tahun 1948 proses pembebasan tanah pun rampung meski masih ada pembayaran ganti rugi yang belum tuntas. Pada tanggal 1 Juni 1948 pemerintah Kotapraja membentuk Cantrale Stichting Wederopbouw yang disingkat CSW, sebuah yayasan yang bertugas sebagai pelaksana pembangunan kota baru di Onderdistrict Kebajoran Ilir.
Bersamaan dengan itu dimulainya pembangunan kota baru Kebajoran. Setelah terjadi pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, CSW berganti nama menjadi ‘Jajasan Pemugaran Pusat’. Begitulah muasal sebutan CSW yang hingga kini menjadi sebuah perempatan tidak jauh dari kantor PLN Kebayoran, kantor Sekretariat ASEAN dan kantor Kejaksaan Agung.
Dari ”De Nabang” Jadi Tanah Abang
Pasar Tanah Abang tempo dulu. (foto:dok/ist)
BANYAK julukan atau sebutan nama di Jakarta kini yang mempunyai sejarah panjang di masa Batavia dulu. Anehnya, hingga kini julukan tersebut masih bertahan tanpa ada yang menggugatnya. Malah kalau mau dibilang tersohor dan telah menjadi identitas yang agaknya sulit untuk dihapus.
Misalnya, sebutan nama Glodok. Sebuah kawasan bisnis terkenal di wilayah Jakarta Barat. Orang hanya tahu bahwa Glodok bertalian dengan barang-barang elektronik baik lokal, rakitan maupun impor juga VCD atau DVD bajakan.
Namun siapa nyana bahwa ternyata nama Glodok berasal dari air pancuran yang berada di sekitar gedung Balai Kota (Stadhuis) tempat kuda minum usai mengangkut barang bawahan atau setelah digunakan serdadu Kumpeni Belanda berpatroli.
Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutkanya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta bahkan hingga ke luar Jakarta.
Tidak cuma di Glodok atau di Glodok Pancoran, sebab ternyata nama Kebayoran di wilayah Jakarta Selatan juga mempunyai perjalanan sejarah yang teramat panjang. Nama Kebayoran konon berasal dari kata ‘bayur’ (Pterospermum javanicum Jungh) yaitu nama pohon dari suku Sterculiaceae.
Pohon ini banyak tumbuh di bagian selatan kota dengan nama yang berbeda-beda: wadang atau padang, ganjur. Karena itu, selain Kebayoran juga ada Ciganjur dan Jati Padang. Kedua nama ini menjadi sebuah kawasan yang berada di wilayah Jakarta Selatan.
Bahkan, mantan Presiden (alm) KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur kini pun menetap di daerah Ciganjur. Dari daerah yang satu ini Gus Dur melancarkan kritik terhadap pemerintahan Mega – Hamzah Haz.
Itu cerita muasal Kebayoran, Ciganjur dan Jati Padang. Lain pula dengan sebutan Tanah Abang, sebuah kawasan perdagangan di wilayah Jakarta Pusat. Hingga kini kernet angkutan umum yang melewati Tanah Abang pasti akan memanggil ‘Nabang!…Nabang!…Nabang! setiap kendaraan umum mendekati Tanah Abang. Dan asal tahu saja istilah Nabang!…Nabang!…tersebut mempunyai catatan sejarah yang hingga kini jarang diingat orang lagi.
Nama tersebut sudah berkumandang sejak abad ke-19. Dan, memang dulu kawasan Tanah Abang dipanggil Nabang. Dalam penulisan formal zaman Hindia Belanda, diberi partikel ‘De’ sehingga menjadi ‘De Nabang’.
Nabang seperti halnya untuk penamaan Kebayoran di Jakarta Selatan, juga adalah nama jenis pohon yang tumbuh di atas bukit di sana. Penduduk setempat sering menyebut tempat itu (kini Tanah Abang) dengan sebutan ‘Tenabang” yang kemudian diplesetan dari ”De Nabang”..
Nama Tanah Abang diberikan Jawatan Kereta Api setelah pembangunan stasiun kereta api (SKA) di daerah tersebut tahun 1890. Ya, bisa jadi karena pimpinan proyek pembangunan SKA tersebut mengira ‘Tenabang’ itu salah dan perlu ‘diluruskan’ menjadi ‘Tanah Abang’. Makanya hingga kini pusat tekstil terbesar di Jakarta Pusat ini (bahkan di wilayah ibukota) dinamakan Tanah Abang.
Singkat kata: nama-nama sebutan yang masih bertahan hingga kini ternyata mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Ibarat benang, kita kini hanya pandai menyebut nama-nama sebutan suatu kawasan tertentu yang jika ditelusuri berkelok-kelok. Tapi itulah kenyataannya. Mau dibilang apa?
Impor Gadis dari Belanda
(foto:dok/ist)
Susah jika sudah gelap mata. Apa yang diinginkan harus tercapai meski untuk itu harus mengorbankan bangsa sendiri. Itulah yang dilakukan Gubernur Jenderal pertama Belanda di kota Batavia, Jan Pieterszoon Coen.
Setelah menaklukan kota Jacatra yang diubah namanya menjadi Batavia, ia mempunyai impian menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan rempah-rempah tersohor di Asia Tenggara, bahkan jika perlu di seantero dunia.
Jan Pieterszoon Coen yang lahir di kota Hoorn, Belanda itu sadar betul bahwa akan sulit baginya untuk meramaikan kota yang baru dibangunnya itu, tanpa adanya aktivitas layaknya semua kota di benua Eropa. Ia juga paham bahwa kota ini perlu orang-orang yang siap bersamanya untuk mengapai cita-citanya menjadikan kota Batavia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Coen perlu juru ketik, juru masak dan tetek-bengeknya.
Untuk mendatangkan orang-orang Belanda ke Batavia bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan rayuan bahkan tidak jarang sedikit paksaan agar orang-orang Belanda mau datang dan menetap di Batavia.
Di kota ini masih sangat dibutuhkan tenaga-tengara trampil misalnya juru ketik atau juru masak. Sebab, mustahil pekerjaan itu dilakukan oleh orang-orang pribumi. Apalagi setelah Coen berhasil menaklukan pasukan Mataram. Banyak orang-orang Mataram yang dipaksa keluar dari kota Batavia.
Ketika Coen mengajukan permintaan untuk mendatangkan para pegawai dari Belanda, pemerintah kerajaan menolak mentah-mentah. Meski begitu Coen tetap berusaha keras sehingga akhirnya diizinkan juga untuk membawa orang-orang Belanda ke kota Batavia. Tetapi itu pun tidak memecahkan persoalan sebab: siapa yang tahan tinggal di sebuah kota yang hanya diisi oleh kaum pria saja.
Jelas ini persoalan serius yang tiba-tiba saja membuat kepala Gubernur Jenderal Jan Pieterzsoon Coen pusing tujuh keliling. Ia hampir putus asa. Namun dasar licik diam-diam Coen kembali mengajukan permohonan untuk mengimpor wanita Belanda ke Batavia.
Seperti halnya permintaan pertama yakni mendatangkan pegawai dari Belanda ke Batavia, awalnya pihak pemerintah kerajaan menolak. Namun toh Coen bisa menyakinkan dan disetujui pemberangkaran para wanita ke kota Batavia.
Dan, yang diberangkatkan ke sana selain para istri pegawai juga didatangkan gadis-gadis yatim piatu Belanda. Pada 1621 para direktur kumpeni memberi tahu Coen bahwa telah diberangkatkan tiga keluarga ke Batavia. Dalam rombongan itu juga diselipkan sejumlah gadis-gadis yatim piatu.
Mereka ini menerima seperangkat pakaian dari kumpeni Belanda. Selain itu para gadis yatim piatu itu juga diwajibkan untuk ‘meneken kontrak’ untuk tinggal selama lima tahun di kota Batavia, sama seperti pegawai Belanda yang bekerja di Batavia.
Bedanya dengan para pegawai Belanda itu, para gadis yatim piatu yang berumur mulai dari 11 tahun hingga 20 tahun itu tidak akan menerima upah. Namun kalau nantinya mendapat ‘jodoh’ di kota Batavia maka mereka akan diberikan semacam ‘emas kawin’ oleh pemerintahan Kumpeni Belanda.
Belakangan tidak semua wanita yang didatangkan ke kota Batavia selamat tiba di sini karena banyak pula yang hilang karena sesuatu hal. Misalnya saja, kapal yang membawa mereka dihajar ombak yang ganas sehingga terkubur di dasar laut
Tanjidor, Musik Budak-Belian?
(foto:dok/ist)
Tanjidor adalah sisi lain dari sosok musik semasa kota Batavia. Biasanya dimainkan sedikitnya tujuh orang. Para pemain Tanjidor datang dari rumah ke rumah sambil memainkan musik.
Terompet yang besar menjadi salah satu ciri khas dari musik Tanjidor. Ada juga alat musik lainnya seperti dram besar serta sejumlah terompet kecil.
Ada yang mengatakan bahwa musik yang satu ini merupakan perpaduan antara budaya orang Betawi – penduduk asli kota Batavia – dengan budaya orang Cina, yang sudah lama beranak-cucu di kota yang dibangun Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen.
Tetapi, ada pula yang menyatakan musik Tanjidor adalah musik yang awalnya dimainkan para budak-belian yang dibawa ke kota Batavia. Entah mana yang benar? Hingga kini, sulit untuk ditelusuri kebenarannya: apakah perpaduan budaya Betawi dengan etnis Cina atau memang musik Tanjidor merupakan permainan budak-belian di kota Batavia?
Dugaan bahwa musik Tanjidor berasal dari mainan budak-belian di Batavia bukan isapan jempol belaka. Dalam bahasa Portugis dikenal kata tanger yang berarti ”memainkan alat musik”. Seorang tangedor pada hakekatnya seorang yang memainkan alat musik berdawai di dalam ruangan.
Istilah tangedores, yang kemudian berarti brass band yang dimainkan pada pawai militer atau pawai keagamaan. Sampai kini tangedores masih menjadi warna tersendiri dalam pawai-pawai keagamaan di Portugal.
Fakta sejarah itu tidak berdiri sendiri, sebab menurut Ernst Heinz, ahli musikologi Belanda yang pernah melakukan penelitian mengenai musik rakyat di pinggiran kota Jakarta pada 1973 menyebutkan, musik rakyat yang berkembang di daerah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Bogor atau Depok, ternyata berasal dari permainan musik budak-belian.
Ernst Heinz mengatakan, lama kelamaan musik yang dimainkan sedikitnya tujuh orang pemusik itu berpindah tangan dari sekadar permainan para budak-belian atau para militer kepada pemain musik bayaran. Karena, ketika itu pemerintah Kumpeni Belanda secara resmi menghapuskan sistem perbudakan pada 1818.
Waktu itu, penghapusan perbudakan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah Kumpeni Belanda. Hal itu sudah merupakan perintah Ratu. Perbudakan baru hilang sama sekali di kota Batavia pada 1 Januari 1860.
Dugaan Ernst Heinz boleh jadi benar, karena Dr F. de Haan, ahli sejarah Batavia lama mengaminkan pernyataan ahli musikologi Belanda tersebut. Kata de Haan, pemusik keliling yang belakangan dikenal sebagai Tanjidor di perkampungan-perkampungan Betawi berasal dari orkes-orkes budak zaman Kumpeni Belanda dulu.
Mengutip catatan sejarah, de Haan menyebutkan, di masa Batavia dulu ada seorang tuan tanah Belanda bernama Cornelia de Bevers yang mempunyai 59 budak belian pada 1689. Di antara budak itu ada yang dipisahkan, karena mempunyai keahlian bermain musik. Mereka inilah yang setiap ada pesta di rumah sang majikan memainkan musik menjamu para tamu undangan.
Semasa Batavia dulu, harga budak-belian yang mempunyai kepandaian bermain musik atau orkes cukup tinggi. Selain itu, budak-belian yang pandai memasak atau pintar membuat kue. Jika benar musik Tanjidor merupakan permainan kaum budak-belian di kota Batavia maka jelas ini suatu catatan sejarah bahwa tidak selamanya budak-belian itu berkonotasi buruk. Buktinya, mereka bisa melahirkan musik yang kini dikenal sebagai musik Tanjidor.
Rambut ”Serabi” dan Pajak Konde
(foto:dok/ist)
Pernah melihat film Cina di televisi atau bioskop? Suatu pemandangan yang selalu tampak adalah lelaki Cina dengan bagian depan kepala plontos. Sedangkan, di bagian belakang disisakan rambut yang terurai tetapi biasanya dikuncir panjang.
Jet Lie, aktor silat Cina dalam film-film aksinya sering terlihat dengan model rambut demikian. Ternyata tradisi lelaki etnis Cina tersebut juga telah berlangsung di kota Batavia. Rambut dengan model demikian di kota Batavia dulu disebut dengan istilah ‘serabi’.
Biasanya bocah lelaki etnis Cina yang memasuki usia 10 tahun wajib dipotong rambutnya dengan gaya unik tersebut. Karena itu, tidak heran jika semasa Batavia dulu banyak berkeliaran di kawasan pecinan bocah lelaki yang berambut model ‘serabi’ tersebut.
Para orang tua etnis Cina yang menetap di daerah pecinan seperti di Glodok memberlakukan model ‘serabi’ itu, karena perintah langsung dari kaisar di daratan Cina yang waktu itu masih dikuasai oleh orang Mancu. Tidak ada yang tahu mengapa model rambut panjang di bagian belakang kepala, sedangkan rambut di bagian atas dahi dicukur licin sampai puncak kepala menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi orang-orang Cina.
Yang pasti begitu etnis Cina menetap di kota Batavia dari tempat sebelumnya di Banten, tradisi lelaki Cina dengan model rambut ‘serabi’ itu telah diberlakukan. Biasanya para orang tua etnis Cina mencukur anak lelakinya setiap hari minggu. Rambut di bagian belakang kepala dibiarkan tumbuh. Bagian yang ditumbuhi rambut itu bundar dan dinamakan ‘serabi’. Bila ‘serabi’ rambut itu sudah cukup panjang kemudian dikepang dengan sutera kuncir.
Sutera kuncir pun memiliki ciri khas yang tidak boleh dilanggar. Untuk lelaki yang tengah beranjak remaja, sutera kuncirnya diberi warna merah. Sedangkan, bagi pria dewasa yang sudah menikah diberi warna sutera hitam. Khusus bagi mereka yang berkabung karena ada sanak-keluarganya yang meninggal dunia, biasanya sutera kuncirnya berwarna putih dan biru.
Kepang atau kuncir itu dilepas ke belakang seperti kuncir wanita. Di masa Batavia dulu hal itu dinamakan ‘tocang’. ‘Tocang’ ini dipaksakan oleh orang Mancu ketika mereka menduduki daratan Cina tahun 1644. Jika orang Cina itu meninggal barulah ‘tocang’ boleh dipangkas alias dipotong.
Tradisi ini tidak dilarang oleh pemerintah Kumpeni Belanda. Karena dianggap tidak menganggu keberadaan kekuasaan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Malah, oleh Kumpeni Belanda tradisi itu dipajaki yang dikenal dengan nama pajak konde. Pajak ini dikenakan bagi pria Cina dewasa yang sudah menikah dan berpenghasilan.
Belakangan banyak generasi muda etnis Cina yang keberatan dengan model rambut unik tersebut. Apalagi setelah mereka bergaul dengan para pejabat Kumpeni Belanda yang tampil necis dengan jas serta topi keren. Belum lagi pergaulan dengan kaum pendatang yang singgah di kota Batavia, terutama berasal dari daratan Eropa.
Karena itulah maka kemudian seorang tokoh Cina di kota Batavia bernama Tiong Hoa Hwee Koan melayangkan telegram kepada pemerintah Ceng (Mancu) di Peking. Dalam telegram itu, Tiong Hoa Hwee Koan menanyakan apakah pemotongan ‘toceng’ diperbolehkan secara resmi. Lama jawaban itu muncul. Sampai akhirnya datang balasan telegram yang isinya ngambang: resmi dizinkan sebetulnya tidak.
Kontan saja kabar itu tersebar di kalangan penduduk etnis Cina di kota Batavia. Banyak yang ngotot untuk mempertahankan ‘tocang’ dengan rambut. Sulit diubah. Sampai akhirnya pada tahun 1911 ‘tocang’ tak umum lagi. Akibatnya, Kumpeni Belanda kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak konde.

Tidak ada komentar: